Belajar Yuk…!!!

Hasil dari belajar adalah Tindakan, bukan Pengetahuan

Arsip untuk curahan hati

Apa kabarnya?

Sedikit kaku menyapa halaman sejuta pikir dan rasa ini. Lima bulan sudah kutinggalkan begitu saja. Seolah kesibukan duniawi membungkam asa untuk dapat menorehkan pena instuisi jiwa.

Terlalu banyak hal-hal menarik dalam hidup ini yang terlewatkan. Ruang komunikasi satu arah yang mulai ditinggalkan jejaknya. toh.. ada yang lebih seru diajak berbagi, mungkin…

Apa kabarnya ruang imajinasiku?

Izinkan aku kembali menari-nari di arenamu ini. Aku masih ingat beberapa gerak jemari dan rasio. Paling tidak untuk membuatmu merasa ada, diakui…dihargai…

Selamat Datang 2010

tahun 2010

Ada yang menarik ketika tutup tahun merapat dan tahun baru mendekat. Seolah segala asa dan pencapaiannya ingin dikoreksi. Kalaupun belum sempurna, resolusi baru ‘kan bertahta menggeser posisi masalalu. 2009 bukan tahun yang kelam, bukan pula tahun yang membahagiakan. Tapi apa yang telah kita lalui, menjadi bagian dari sejarah yang terukir oleh jejak langkah pengabdian. Bukan percaya pada ramalan dan harapan, tapi sedikit merefleksi bahwa bumi yang kita huni semakin renta. Semakin terkikis oleh manusia “mulia”, yang dirinyalah pula dikikis oleh usia. Sampai kapan manusia ‘kan bertahan menjadi yang abadi? Mustahil…
Kini keabadian yang fana itu membawa kita pada hamparan Kasih dari KeagunganNYA.
Terimakasih…atas arena peraduan zaman ini. Jangan biarkan kami menari-nari diatas pesona keindahan alam yang Kau Ciptakan. karena kami hanya bisa merusaknya…

Selamat datang 2010…
Izinkan kami menggenggam asa untuk Sang Penguasa.
Sama seperti kemarin adalah kegagalan.
Lebih baik dari hari ini adalah motivasi.

Bnetz/030110/22:04wita

Ibuku, Pahlawan Sepanjang Masa

Tubuhnya kecil, meringkih, parasnya menebar ketenangan dengan riak-riak keriput yang bergaris disekitar matanya. Duduk di meja kayu khas bangku sekolah, Ibu merunduk menghayati tiap-tiap garis dalam tumpukan “buku bernilai”. Sesekali matanya mengerut, memperjelas tulisan pada buku raport itu, maklum mata Ibu minus. Untung Ayah menyiapkan lampu khusus agar Ibu bisa melihat lebih jelas. Hampir tiga jam Ibu meratapi, menggores tiap-tiap raport itu dengan pena pemberian pak camat, pena kebanggaannya. Namun naluri lainnya muncul, Ibu beranjak dari meja menuju tungku yang tak berasap seharian. Bukan karena Ibu malas memasak, tapi karena pekerjaan Ibu yang berjibun. Diraihnya kedelai berjamur itu, diiris menjadi enam, lumayan…untuk lauk makan malam ini. Tak lupa sambel terasi kesukaan Ayah, sayur asem favorit Adik dan kerupuk puli ganyanganku disiapkan Ibu. Entah Ibu belajar dimana, sampai masakan sederhana seperti ini disulap jadi makanan yang nikmat luar biasa. Rasanya sungguh beda, bumbu cinta dan penyedap rasa kasih sayang bercampur baur dalam semangkuk kebahagian yang memberi kehangatan pada dinginnya malam.

Diluar sana langit menangis dalam kegelapan. Membalut raga kemalasan untuk bergerak, tapi Ibu tidak. Dengan jejak pengabdian, Ibu kembali meraih pena dan raport itu. Mengisi setiap kolom biodata anak didiknya, tak sedikitpun tersirat riuh letih dari air mukanya yang tulus. Jiwa kepahlawanan Ibu tampak dari setiap hela nafas. Pahlawan tanpa tanda jasa, pemberi cahaya pada kegelapan hati, itulah yang ingin kusematkan pada Ibuku pelitahatiku. Ibuku adalah seorang  guru, yang setiap tutur dan lakunya digugu dan ditiru. Semangatnya tak pernah mati untuk sebuah masa depan bangsa lewat generasi penerusnya. Aku bangga!!

Malam sudah lewat, tapi pagi belum menyapa. Aku terbangun dari tidur, meratap lampu remang dalam kamar. Seolah ada yang membisikkan harapan dan cinta yang tulus, aku beranjak dan mencari sumbernya. Subhanallah…aku melihat Ibu duduk bersila diatas sajadah, mukenanya hampir basah, bahu Ibu terangguk-angguk begitu kerasnya. Ada apa gerangan Ibuku pelitahatiku? Mengapa cahaya itu tampak semakin terang dalam gelap yang menyergap? Ingin kurangkul Ibu dari belakang, tapi aku takut mengganggu. Kubiarkan saja, tak berkedip sedetikpun melihat Ibu bersimpuh keharibaanNYA. Menyebut AsmaNYA berulang kali. Lantutan ayat-ayat yang fasih terlontar dari bibir Ibu yang manis. Do’a untuk Ayah, do’a untuk kakek-nenek, do’a untuk buah hatinya, termasuk aku.  Meneteskan haru yang membiru dalam malam yang bisu. Katapun tak bisa membingkai rasa cintaku pada Ibu. Biarkan malam ini menjadi saksi ketulusannya pada Sang Pencipta, dan kecintaanku pada pahlawan sepanjang masa, Ibu.

Dua puluh tahun lebih Ibu berbagi dengan mengabdi. Namun tak pernah melewatkan kisah manja bersama keluarga. Waktu bagi ibu seperti roti yang harus dinikmati tiap-tiap bagiannya, tak ada yang terbuang percuma. Urusan sekolah dan keluarga menjadi tugas sekaligus hiburan baginya. Sayang…tubuh kecil Ibu tak mau berkompromi banyak. Seperti mesin yang semakin tua semakin rapuh, demikianpun dengan Ibu. Pucat pasi terpancar dalam rona kelembutannya. Raganya tak berdaya menopang semangat Ibu untuk tetap bisa menikmati hari-hari seperti sebelumnya. Hanya terbaring, menahan rasa sakit. Aku tak bisa berbuat banyak, bisaku cuma mengeluh, menuntut, minta ini minta itu, membatu, dan tak pernah tau apa yang dirasakan ibu. Jika sudah begini, penyesalan seolah menghantam jiwaku bertubi-tubi. Tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali kedewasaan diri. Berharap Ibu sembuh dan memeberikan yang terbaik baginya. Mengukir kembali senyumnya, menghapus airmata kesedihan menggantikannya dengan keharuan sebuah kesuksesan dalam usaha dan doa.

Kini, kedewasaan itu ‘kan teruji. Aku merantau, sejenak meninggalkan kenangan-kenangan manis bersama keluarga. Mencoba membangkitkan asa dengan jejak pengabdian tulus yang pernah Ibu ajarkan. Walaupun  aku tak bisa  melihat Ibu berdo’a dalam malam yang bisu, tapi aku bisa merasakan getaran bibir itu yang terkirim lewat rasa rinduku padamu Ibu.

Ibuku Pelitahatiku…

Senyummu penyemangatku

Doamu keselamatanku

Selamat Hari Ibu

Semangat jiwa yang mengakar dalam darahmu

Menjadi bagian yang terpenting dan amat penting bagiku

Ibuku Pelitahatiku,

Pahlawan tanpa tanda jasa

Kasih sayangnya sepanjang masa

MandiriKost/201209/03:34wita

Rumah Kecil Kita

Aku punya rumah kecil sederhana. Pekarangannya elok. Sejuk. Penghuninya lumanyan banyak, ada ayah, ibu, kakak, adik, sepupu, ponakan, om dan tante. Tapi..tak semuanya betah tinggal disini. Aku tak tau pasti apa alasannya? Mungkin karena rumah ini terlalu sempit, pengap (bagi mereka), atau karena fasilitasnya terbatas? atau lagi, karena ayah dan ibu tak bisa memenuhi semua keinginan mereka? oh…sungguh kasian!!! rumah kecil ini seharusnya ramai oleh kalian. Kalaupun kalian tak betah atau tak puas dengan apa yang telah disediakan, buatlah rumah ini indah seperti yang kalian harapkan. Ayah dan ibu tak mungkin marah. Dari pada kalian harus membandingkan rumah kita dengan rumah tetangga. Tak ada salahnya kita membangun kemesraan, biar tetangga sebelah iri dengan kemesraan ini. Tapi jangan terlalu mesra pula, nanti tetangga sebelah curiga, kita tidak pernah berkerja, hanya bermesra-mesra ria.

Hmmm…memang susah ketika banyak kepala di rumah ini, banyak pula kemauannya, dan tak pernah berpikir bagaimana satu persatu memenuhinya. Ya sudahlah….kalau begitu pergi saja sana. Cari kehidupan yang membuat kalian nyaman. Toh kita sudah sama-sama besar, mungkin cuma adik kecil kita ini yang tak tau apa-apa. Biarkan dia ikut ibu dan ayah, biar mereka terhibur.

Sayang…sekarang aku yang harus pergi dari rumah ini.

Tapi tunggu…tunggu dulu…aku pergi tak jauh dari rumah, juga tak lama. Ada toko obat baru di depan kompleks rumah kita. Yang punya bukan orang pribumi, tapi tak apalah…karena hanya toko obat itu yang mau menerima pegawai baru. Di gang sebelah juga ada salon baru, Salon Rahayu namanya. Tapi ibu dan ayah tak mengizinkanku bekerja disitu, ibu lebih setuju aku di toko obat depan kompleks, mungkin supaya aku tetap dekat dengan mereka. Ayah juga bilang, toko obat lebih bagus. Paling tidak, kalau ada yang sakit dari keluarga ini, aku bisa tau obat yang tepat dan mujarab. Dari pada salon yang hanya melayani orang-orang yang tak pernah men-syukuri karuniaNya. Menurut ayah, semua yang di salon itu ‘palsu’, rambut palsu, alis palsu, bahkan muka palsu juga dibuat di salon itu. Yahh…ada-ada saja ayah ini.

Aku berharap rumah ini tak akan sepi, meski aku harus pulang pergi. Oh iya…besok hari ulang tahun ibu, tepatnya yang ke 53 tahun. Buat kalian yang pernah meninggalkan rumah kecil kita ini, kembalilah…demi ibu, demi kita semua… Tengoklah rumah kecil kita ini. Bukan untuk mengenang masa lalunya, paling tidak bertanya, “apa kabar rumah kecilku?“. Karena sesungguhnya kita bagian dari sejarah kehidupan dikeluarga ini dan rumah kecil inilah saksinya!!

***

Tulisan ini ku persembahkan untuk Rumah Kecil Kita, BaruGa. Disinilah aku belajar banyak tentang arti tanggung jawab dalam sebuah “keluarga”. Tak ada yang lebih yang bisa aku beri di Rumah Kecil ini, selain keterlambatan untuk menghadirkannya. Maaf untuk sesuatu yang tak sesuai dengan expectacy kalian. Tapi sungguh…aku berproses didalamnya. Kalau toh hasilnya tak  memuaskan, sekali lagi maaf, aku hadir bukan untuk memuaskan tiap-tiap dari kalian. Bukan karena aku lebih bisa dari kalian, tapi karena aku lebih beruntung bisa menjadi bagian dari Rumah Kecil Kita ini. “satu mata hati, satu kata hati”

MC/111209/01:16wita

Bukan ‘AIB’

Meratap senja kelabu

Mengusap riak dahaga dari tatapnya

Terseok sembari bergeser satu derajat

Ada yang mengalir tepat sebelah bibir

Tak terusap sutra, tak tertutup goni

Bukan ‘AIB’ nya

Getar jiwa menguncang asa

Biarkan dia larut

Barangkali raganya singgah

Terkirim lantunanNYA..

Astaghfirullah…..

 

-senjakelabu,231109,18:01wita-

refleksi sebuah profesi

Menjadi apa yang dicita-citakan, memang tak semudah menggoreskankannya pada catatan masa kecil kita. saat ditanya,”kamu kalo besar mau jadi apa?”, dengan mudahnya mulut kecil ini menjawab, “pramugari”, profesi yang dianggap memiliki tingkatan status lebih tinggi. padahal dulu aku kurus dan ceking, jauh dari kriteria pramugari yang mengutamakan penampilan fisik luar biasa. namun, sedikit demi sedikit asa itu membias ditengah realitas hidupku. hingga akhirnya, cita-cita kecil yang semu itu hanya akan mengisi kamus hidupku yang berdebu. aku membiarkan angan-angan itu menari-nari diatas kepala ini. bukan niat meninggalkannya begitu saja, tapi mencoba berbelok arah, mencari relevansi kehidupan. aku lahir dari keluarga sederhana, yang kiranya tak mampu membawaku melambung tinggi membawa asa itu. tapi akau tak mau menjadikannya tembok penghalang bagi sebuah kesuksesan. sudah banyak cerita yang terkumpul untuk menjelaskan bahwa kesuksesan seseorang bukan datang dari kemewahan. itulah yang mendorong semangat ku untuk terus mencari celah penghidupan.

dibawah cahaya lampu yang temaram, sinar media bergerak juga meradu ramu menyemarakkan malam penuh kebersamaan. aku dan keluarga kecilku, menikmati obrolan beberapa orang yang tak ku kenal dilayar warna itu. entah mengapa, obrolan mereka membawa aku pada satu keadaan, aku ingin seperti mereka. nampaknya perasaan itu tidak hanya menghampiri pandangku, orangtuaku pun demikian. suara lembutnya, memecah ditengah keredupan malam bercampur dengan obrolan dilayar tadi, “bisakah kamu seperti itu?”. tersentil aku sambil mengarah lembut ke sumber suara tadi. entah ini hanya intermezzo atau pengaharapan yang memuncah?, aku tersenyum sambil menjawab, “kenapa tidak!!!”, meyakin sekaligus mengharap, ini sebuah doa dariku dan dari suara lembut tadi.

denting jarum jam tak mau kompromi, senyap merayap didinginnya malam, mengahantar keluarga bahagia ini terlelap satu persatu. tapi tidak bagi aku. sedikit menghayal dan merefleksi obrolan malam tadi, aku ditemani bunyi kipas angin yang mendesir. tantangan, harapan, atau hanya sekedar tanya yang mendera?

tiga tahun, penantian hidup ini menemui muaranya. bisa atau tidak, mau atau tidak, ini pilihan hidup. refleksi obrolan malam itu, tak pernah pudar di makan waktu yang cukup panjang. kini aku berada pada titik kemandirian, pandangan hidup yang ingin ku bangun sejak dulu, tanpa atau dengan tuntutan orangtuaku. jika tantangan, harapan dan tanya mereka kembali terlontar, kini aku bisa menjawabnya. inilah aku, dengan profesi baruku yang lahir dari obrolan malam yang memanja. jika malam itu kan terulang, aku tak bisa bayangkan..hal apa yang akan lahir dari jiwa yang tak pernah puas ini.

terimakasih ayah..terimakasih bunda..engkau membangkitkan semangat jiwa manja ini. jika ini memang jalanNya, aku akan berjalan di atas bara kehidupan yang ketir…

Bloggers/181010/21:42wita

Marhaban Yaa Ramadhan…

Manusia tempat segala dosa bermuara

Tempat segala ingkar berikrar

Dan tempat segala musibah tertumpah

Aku manusia…

Ketika mulutku tak mampu berucap

Hati ini bertanya: akankah aku mampu menjadi insan seperti kehendakNYA?

Hanya air mata yang mampu menjawab dengan derainya

Marhaban Yaa Ramadhan…

Selamat datang bulan penuh rahmat

Kehadiranmu sebagai bulan suci membawa aku ke ladang ampunanNYA

Atas dosa, khilaf dan hati yang berprasangka

“selamat menunaikan ibadah puasa 1429H”

MandiriKost,310808/21:23wita

dia butuh… aku kaku…

Aku mengenal lebih dari satu orang sepertinya. Semuanya sama, ingin menjadi lebih dari apa yang aku mau. Sempat memberi jawaban atas segala pertanyaan. Namun tak membuatnya cukup. Belum saatnya aku menjalani ini lebih dari kewajiban yang harus aku lalukan. Aku tak mampu membuka mata untuk melihat keberadaannya. Sungguh… tak ingin ku tahu dimana dia.

Harapnya begitu besar, namun tak mampu mengalahkan hatiku yang mengakar pada keyakinan. Dan kini telah ku temukan jawaban, tetap pada pendirian. Begitu pula dengan dirinya, teguh pada pendirian untuk menyakinkan pada diriku yang telah kaku. Sadarkah dia akan aku?? Begitu pula dengan aku, sadarkah bahwa dirinya butuh?? Aku seolah tak mau tahu. Sampai kapan kau akan menunggu?? Padahal aku bisu….

cukup….!!!

Aku akan menjadi biasa. Mungkin sama seperti yang kau kira…

dia dari DIA Yang Maha Pengasih…..

Kecintaan pada diriku sendiri terkadang mengalahkan tiap pilihan dalam hidupku. Id dan ego dalam diri ini menyelimuti segalanya, sehingga tidak memberikan ruang bagi super-ego untuk menentukan mana yang sebaiknya menjadi pilihan dalam hidup. Polisi kepribadian ini tak mampu mengendalikannya. Cukup banyak yang menelan kekecewakan dari keputusanku yang berpihak. Dimana aku simpan kedewasaan itu?? Sehingga tak kutemukan dia dalam fikirku. Sulit rasanya berbagi segala yang aku miliki, dengan orang lain. Aku tak ingin orang mengetahui pribadiku melebihi aku tentang diriku sendiri. Tak rela rasanya membiarkan diriku menjadi bagian darinya. Biarkan hanya aku dan DIA yang tahu. Aku tak mau rasa cinta yang aku miliki ini jatuh padanya, kecuali aku, DIA, dan keduanya. Ini bukan yang pertama bagiku, dan selalu muncul disaat aku tak mengharapkannya.

Ketakutan akan kemungkinan terburuk selalu membayangi, seolah segala kesenangan terlupakan dan tak akan pernah terjadi. Padahal aku belum pernah menjalaninya. Naif rasanya membicarakan hal yang tidak disuka tanpa sadar bahwa sempat ada keinginan untuk memiliki. Itu manusiawi…!!! Sungguh komplit sebenarnya perasaan manusia. Sehingga alam bawah sadarpun ikut masuk dalam jiwa yang penuh rahmat. Terima kasih Tuhan telah mengirimkannya untukku. *Aku yakin dia akan kembali jika dia dari DIA Yang Maha Pengasih*

Mandiri Kost,

240308 / 21.00wita

Kesempurnaan Milik-Nya

Kesempurnaan tidak pernah dimiliki oleh individu mahkluk, kecuali Dia. Dia-lah Maha Pencipta, menciptakan segalanya tidak melebihi diriNya. Lalu kenapa harus ada kata sempurna, jika itu memang tidak akan pernah dimiliki oleh kita?? Ya… agar kita selalu ingat bahwa Dia-lah penyempurna hidup. Apapun yang kita lakukan untuk menyempurnakan hidup kita, semata untuk tidak setara dengan sempurna yang dimilikiNya. Namun tidak lantas kita mengabaikan kesempurnaan untuk menuju hidup yang lebih baik. Raihlah kesempurnaan itu, gapai, tempuh, berusahalah agar kau mendapat nikmat dariNya. Tapi bukan untuk menjadi “LEBIH” dari-Nya.

 

Mandiri Kost,

150308, 23:07